Sabtu, 02 November 2019

Di Tepi Kali Tipar


Di Tepi Kali Tipar
Oleh : Worro Sudarmo

Kali Tipar airnya mengalir tenang. Aku duduk mencangkung di tepinya. Sudah cukup lama. Ingatanku melayang jauh. Menggali segala peristiwa lalu. Saat-saat indah bersama bapak, kakak, dan adik-adikku membayang jelas. Di sini, di tepi Kali Tipar. Memancing, atau hanya bermain air di tepinya yang tak terlalu dalam.
“Nih lihat! Bapak dapat ikan lagi! Mana hasilmu, Wo!” seru bapak selalu.
Mendengar itu, biasanya kami langsung menyerbu ke tempat bapak, lalu ikut memancing di sampinya.
Memang nih, Pak! Masa Wowo dapatnya kodok melulu...,” Kak Kenti, kakakku satu-satunya ikut menimpali.
“Lho, masih lumayan, daripada Kakak, nggak dapat apa-apa, weee...” Lalu kami pun saling mengejek. Sedangkan bapak hanya tertawa-tawa senang menyaksikan tingkah kami.
Yang lebih menyenangkan lagi adalah saat kami semua pergi ke sawah. Sawah kami ada di seberang Kali Tipar. Inilah piknik mingguan kami. Kedengarannya aneh. Namun, memang demikianlah adanya. Pergi ke sawah bagi kami sama dengan piknik.
Pagi-pagi setelah sarapan, aku, bapak, dan Mono, adikku sudah berangkat. Sedangkan Kak Kenti dan ibu menyusul nanti agak siangsambil membawa bekal makan siang. Di sawah inilah kami benar-benar menemukan kegembiraan. Banyak yang kami lakukan di sana. Main layang-layang, mencabuti rumput pengganggu padi, atau hanya duduk-duduk membaca buku sambil menikmati semilir angin. Dan yang tak pernah lupa, adalah mencari belut. Tak pernah kami pulang tanpa menenteng belut. Belut bakar adalah kesukaan kami. Sungguh nikmat disantap bersama nasi hangat. Tapi yang aneh, justru ibu paling takut dengan belut. Geli, kata ibu. Karena itulah, kalau pulang membawa belut, ibu tak boleh melihat.
Bapak, selain petani, juga seorang guru SD. Bapak pandai segala-galanya. Dari bapaklah kami tahu segala macam di sekeliling kami. Bapak juga sangat memperhatikan kami.
Selalu kuingat, setiap kali kami belajar, bapak dengan ibu dengan setia menemani. Menenteramkan perasaan. Sungguh kami merasakan sejuta kebahagiaan memiliki orang tua seperti beliau.
Namun rupanya Tuhan tak mengizinkan bapak terlalu lama bersama kami. Kini beliau harus kembali kepada Sang Maha Pencipta. Kami seperti kehilangan arah.
Penyebabnya sungguh tragis. Waktu itu sore hari. Aku sedang duduk-duduk bersama saudara-sudaraku. Ibu sedang memasak di dapur. Bapak sedang menyalakan lampu petromax. Di desaku belum ada listrik. Tiba-tiba terdengar ledakan sangat keras. Semula kami tak terlalu peduli. Tetapi betapa paniknya, ketika kami lihat bapak berguling-guling berusaha memadamkan api yang membungkus sekujur tubuhnya.
Kami berteriak histeris. Sebentar saja tetangga ramai berdatangan. Memang tak lama kemudian api bisa dipadamkan. Tapi kami lihat sekujur tubuh bapak melepuh. Kami menangis, tapi bapak malah tersenyum. Kemudian diceritakan penyebabnya.
Rupanya botol plastik berisi spiritus penuh yang bapak pegang meledak tersambar api. Dan akhirnya bapak dirawat di rumah sakit. Kami tak bisa berhenti menangis. Rupanya ini adalah tanda-tanda dari Tuhan bahwa sudah saatnya bapak kembali ke pangkuan-Nya. Hanya tiga hari bapak dirawat, lalu kami tak pernah berkumpul kembali. Terpisah di alam yang lain.
Tanpa sadar air mataku telah membanjiri pipi, lalu jatuh ke permukaan air Kali Tipar.
“Wo...,” kudengar suara lembut bergetar di telingaku. Aku menoleh. Ternyata Kak Kenti sudah lama duduk di sampingku. Kuhapus air mataku dengan telapak tangan.
“Dari tadi ibu mencarimu. Sedang apa kamu di sini ?” kata Kak Kenti dengan suara bergetar. Kulihat samar-samar air mata juga ada di pelupuk matanya. Lalu aku dipeluknya. Air mataku semakin deras.
“Kak, lihatlah sawah kita di seberang sana. Aku ingat bapak....,” kataku terisak. Kak Kenti semakin mempererat pelukannya.
“Iya, Wo...Kakak juga demikian. Tapi tak mungkin kembali...”
“Kakak kira bapak juga tak ingin meninggalkan kita. Tapi Tuhan berkehendak lain. Mari kita pulang, ibu menunggu kita...”
“Kak, aku ingin seperti bapak...”
“Iya, Wo... Kamu pasti bisa.”
“Aku ingin menjadi insinyur pertanian, biar bisa mengolah sawah kita, kebun kita seperti yang bapak lakukan. Aku ingin jadi guru, biar aku tahu banyak ilmu, sperti bapak...”
“Iya, Wo... In Sya Allah tercapai. Yang penting sekarang Wowo sekolah yang baik. Ingat yang sering bapak nasihatkan pada kita.”
“Kak...,” aku tak bisa melanjutkan kata-kataku. Kubenamkan kepalaku lebih dalam di dada kakakku tersayang.
Ya! Aku akan seperti bapak. Harus seperti bapak. Kelak itu akan tercapai! Semoga tuhan mengizinkan. Lalu dibimbingnya aku berdiri oleh kakakku. Dan kutinggalkan Kali Tipar. Kubiarkan dia sendirian. Mengalirkan airnya ke sawah-sawah. [April 1994]

Minggu, 07 September 2014

TERNYATA AKU BELUM HEBAT



[Catatan Usai Briefing Kedinasan, Jumat, 5 September 2014]

"Pahlawan memang begitu. Dia yang berjuang mati-matian, orang lain yang menikmati hasilnya. Berjaya, dipuji pula. Tapi, tetap saja bukan orang lain itu yang hebat. Tapi, kau. Sebab, kaulah pahlawannya," kata kawanku memberi hiburan. “Saya tahu itu, kau yang hebat !” kata kawanku lagi.
Aku memang sangat kecewa saat itu. Dan kekecewaanku bertambah hebat saat hal yang aku tunggu-tunggu tak juga keluar dari bibirnya. Tidak terlalu berlebihan, aku hanya berharap ia menyampaikan bahwa hal hebat yang membuatnya mendapat pujian juga berkat bantuan berupa warisan karya dariku. Hanya itu. Aku tak meminta yang lebih, atau meminta bagian pujian yang ia terima. Beberapa detik setelah tepuk tangan dari hadirin di ruang briefing, ia memang langsung mengirimi aku pesan singkat (sms) yang berisi ucapan terima kasih. Tapi bukan itu yang kumau. Aku hanya meminta ia sampaikan bahwa sebagian yang ia tunjukkan di depan forum itu ada yang merupakan karyaku, hasil kerja kerasku. Sebuah sentuhan kecil. Hanya itu.
Memang aku tak bisa menuntutnya secara hukum, sebab karyaku itu belum dipatenkan oleh pihak yang berwenang melindungi hak cipta. Apalagi sangat jelas bahwa karyaku sekarang ada di tangannya memang karena saat itu aku memeberikannya dengan cuma-cuma. Kuberikan karena pada saat itu berada dalam kelompok yang sama. Rekan sekelompok tentu sangat baik kalau bisa saling berbagi. Tetapi setidaknya kita tahu bahwa ada kode etik tidak tertulis tentang hak cipta intelektual yang sangat baik utnuk diperhatikan.
Aku tak bisa mengendalikan perasaan saat itu. Hingga tanpa berpikir panjang kusampaikan kekecewaanku ini kepada teman sejawatku. Dan dengan empati tingginya ia mengingatkanku tentang “pahlawan”.
Aku tentu tahu dan paham benar akan filosofi pahlawan serta bangga dan bahagianya disebut pahlawan. Pahamku akan hal itulah yang kemudian menyiksaku setelah itu.
Ya, ternyata aku belum hebat ! Aku belum bisa membersihkan hatiku dari rasa pamrih . Aku belum bisa bersih benar dari hasrat untuk riya. Aku  belum bisa membebaskan hatiku dari keinginan memaksa orang lain mengakui peran sertaku akan keberhasilannya. Aku belum bisa menahan diri untuk mengatakan bahwa aku juga berperan penting atas sukses yang ia raih. Dan aku tak bisa membela diri dan membenarkan perasaanku ini dengan menyalahkan orang lain. Dia punya hak untuk “menjaga rahasianya”.  Apalagi dia teman baikku. Teman baik yang pernah bahu membahu dalam satu tim kerja. Teman baik yang tentu saja sudah sangat banyak membantuku.
Ternyata, aku memang belum hebat. Sebab, kenyataannya aku belum sanggup membunuh gejolak seperti itu. Maka, jangan hibur aku dengan sebutan  pahlawan wahai teman. Terlalu berat. Aku belum hebat ! [We-eS]

Kamis, 24 November 2011

Jangan Berbohong untuk Pendidikan

KOMPAS.com - Pendidikan adalah titian niscaya untuk membangun kehidupan yang bermartabat. Ketika pendidikan diselenggarakan dengan kepura-puraan, manipulasi, bahkan kebohongan, tragedi kehidupan segera lahir.

Pendidikan adalah investasi jangka panjang. Buah dari ketekunan dan kesetiaan pada karya pendidikan tak selalu bisa segera dipetik. Menekuninya berarti meniscayakan pribadi pemuja kehidupan dengan visi hidup berkarakter dan kemampuan bertahan dalam pengharapan.

Kebalikannya, bagi kaum pragmatis-oportunis, pilihan bertekun dalam dunia pendidikan adalah kekonyolan, bahkan ketololan. Dalam roh pragmatis dan oportunis, keterlibatan mereka dalam dunia pendidikan pertama-tama dan utama demi kepentingan pribadi yang sesaat. Dinamika pendidikan seperti ini diwarnai kepura-puraan, manipulasi, dan kebohongan. Dunia pendidikan menjadi kendaraan untuk mencapai ambisi pribadi atau kelompoknya sendiri.

Dinamika pendidikan berjiwa pragmatis dan oportunis hanya melahirkan tragedi kehidupan. Pendidikan demikian tak menuntun manusia menuju hidup bermartabat. Di tangan kaum oportunis-pragmatis, pendidikan justru mengerdilkan dan menghasilkan generasi yang gagap menghadapi realitas kehidupan.

Realitas semacam itu baru saja penulis jumpai di Malawi, salah satu negara miskin di Afrika. Lebih menakjubkan, pendidikan di negara ini gratis.

Ada sebuah sekolah pendidikan guru berasrama—setaraf PGSD—milik pemerintah. Kebutuhan makan dan tempat tinggal peserta didik yang lebih dari 900 orang itu dipenuhi secara gratis.

Namun, kondisi sekolah itu memprihatinkan. Bangunan fisiknya kokoh, tetapi tak terawat. Perabot kelas berantakan. Lingkungan sekolah yang tak terawat itu tentu tidak mendukung pendidikan karakter. Kondisi sekolah-sekolah lain yang lebih rendah ternyata lebih parah. Kesan yang muncul, meski gratis, seolah-olah sekolah hanya tempat penampungan orang muda.

Pada realitas pendidikan semacam ini menyeruaklah beragam tanya: seriuskah negara menyelenggarakan pelayanan pendidikan bagi warganya? Ataukah sekolah gratis itu bagian dari permainan akal-akalan penguasa?

Pertanyaan terakhir menyeruak karena kebetulan saja sampai saat ini Malawi dalam kondisi politik dan ekonomi yang limbung. Aroma kemiskinan dan tindak koruptif menyengat di segenap penjuru negeri itu. Pengetahuan politik berbagai kelompok rakyat tentang pemimpin mereka beragam lagi kontras. Jurang kelompok kaya dan miskin teramat lebar.

Menghindari tragedi

Pendidikan yang tidak dikelola dengan lugas dan sungguh-sungguh hanya melahirkan tragedi kehidupan. Seorang sahabat yang telah lebih dari 20 tahun jadi guru di Malawi merasakan kehampaan jiwa sebagai pendidik. Jerih payah mendidik bertahun-tahun tak membekas dalam kehidupan anak didiknya sebagai pribadi maupun bangsa. Karya pendidikan tak membuat mereka nyaman dengan hidup sebagai orang Malawi. Mereka lebih merasa bermartabat jika hidup seperti orang Eropa atau Amerika.

Karena itu, teknologi yang memanfaatkan alam dengan bertani tak pernah memesona meski tanah mereka sangat subur. Mereka melarat di tanah yang kaya.

Belajar dari Malawi, kebijakan pendidikan gratis tidaklah cukup. Kebijakan sekolah gratis adalah bagian kecil dari perwujudan kesungguhan negara menyelenggarakan pendidikan yang terjangkau, adil, dan bermutu bagi segenap warganya. Kita hanya bisa berharap jadi bangsa berkarakter, bermartabat, percaya diri, dan hidup mengakar di negeri sendiri ketika negara menyelenggarakan pendidikan dengan lugas, transparan, terjangkau, adil, dan berkualitas bagi segenap warganya.

Sebaliknya kita hanya akan jadi bangsa pecundang ketika negara menyelenggarakan pendidikan dalam kepura-puraan, manipulasi, bahkan kebohongan. Kita bersyukur Mahkamah Konstitusi telah mengembalikan hakikat negara yang wajib memberikan perhatian kepada lembaga pendidikan berbasis masyarakat/swasta (Kompas, 30/9/2011). Kita berharap tak akan pernah ada permainan akal-akalan negara terhadap nasib semua lembaga pendidikan, khususnya sekolah swasta, termasuk pada upaya pemerintah menetapkan gaji guru di sekolah swasta (Kompas, 12/11/2011) di negeri ini.

Meminjam ungkapan iklan obat: untuk anak jangan main-main! Ya, jangan main-main untuk pendidikan segenap anak bangsa kita. Di mana pun mereka belajar, mereka tetap anak bangsa ini. Bukan semata-mata anak lembaga pendidikan tempat mereka belajar. Atau, kita memang menghendaki tragedi kehidupan bangsa ini?

[SIDHARTA SUSILA Pendidik di Yayasan Pangudi Luhur di Muntilan, Magelang]

Sumber :http://edukasi.kompas.com

Minggu, 30 Mei 2010

Dongeng Tentang Anak yang Memenjarakan Orang Tuanya

Alhamdulillah, karena saya diberi amanah untk menjadi seorang guru, maka saya diharuskan untuk peduli dengan hasil Ujian Nasional.
Bicara tentang hasil UN tahun ini, saya jadi teringat dongeng nenek saya semasa saya kecil. Dongeng yang setelah saya dewasa sebenarnya jauh lebih sesuai untuk orang dewasa khususnya orang tua.
Yang namanya dongeng tentu saja sederhana saja. Singkatnya, begini kisahnya.
Pada suatu masa ada seorang anak kecil yang sangat dimanjakan oleh orang tuanya. Segala yang diinginkan selalu berusaha dituruti meski harus melanggar norma. Segala yang dilakukan selalu saja dibela walau harus ditutupi dengan berjuta kebohongan sebagai pembelaannya.
Suatu ketika anaknya mencuri mainan milik temannya. Si teman tahu benar siapa pencurinya. Namun apa yang dilakukan oleh orang tua si anak. Mati-matian ditutupinya dengan penuh ketidakjujuran. Orang tua tentu orang dewasa yang paham benar dengan kebenaran dan kesalahan. Tetapi itulah yang dilakukan. Berkali-kali si anak melakukan, dan berulang-ulang pula si orang tua memberikan pembenaran dengan pembelaan hebatnya.
Suatu ketika si anak telah dewasa, tindakan masa kecilnya berakibat fatal. Dengan bukti yang sangat kuat, si anak tertangkap telah melakukan beragam pencurian, korupsi, dan manipulasi. Maka duduklah dia sebagai tersangka pada suatu persidangan. Tak ada pembelaan yang mampu meringankan hukuman yang harus dia terima. Namun, tiba-tiba, sesaat sebelum hakim mengetuk palu pengesahan, si anak yang telah dewasa ini melakukan interupsi.
“Maaf, Bapak Hakim. Saya terima semua keputusan sidang, namun kedua orang tua saya juga harus ikut menerima hukuman seperti saya. Bahkan seharusnya lebih berat.”
“Lho, kenapa sebab ? “ tanya Hakim.
“Ya. Karena dialah sekarang saya menjadi begini. Karena dialah sekarang saya menjadi penipu, peencuri, koruptor. Dulu, semasa saya kecil, orang tua saya selalu membiarkan saya melakukan hal seperti ini. Bahkan saya selalu dibelanya. Karena itulah saya tak pernah merasa bersalah jika saya melakukan hal-hal seperti sekarang. Coba kalau dulu saya dilarang. Bahkan kalau perlu dipukul. Pasti saya tidak seperti sekarang !” jawab si anak dengan tegas dan jelas.
Sontak hadirin dalam persidangan terdiam.
Begitulah dongeng yang dulu pernah saya dengar. Tentu saja saat itu bahasanya tidak seperti ini, tetapi bahasa khas kanak-kanak.
Dan, selepas UN, dongeng ini sungguh mengganggu pikiran saya. Tak sebatas mengganggu, bahkan sangat mencemaskan. Sebab bukan tidak sedikit, orang-orang dewasa bahkan orang tua yang berlaku seperti si orang tua dalam dongeng tersebut. Walau saya tak pernah melakukan penelitian intensif, namun banyak kecurigaan bahkan tuduhan yang diarahkan kepada oknum-oknum penjual kunci jawaban via sms dan yang sejenisnya. Bukan oknum peserta UN saja yang bergerilya, juga orang tua mereka ! Tanpa merasa bersalah bahkan tanpa berpikir jauh akan efek pembentukan mental mereka, oknum orang tua ini mengajari dan memberinya alat pembunuh budi pekerti luhur berupa kunci jawaban UN. Betul mereka memang punya dalih, salah satunya adalah kasihan jika tidak lulus. Juga dinding persembunyian yang dibuat oleh kelompok anti-UN. Saya tidak benci mereka. Hanya saja menurut hemat saya, jika proses belajar berlangsung dengan baik, penuh etos kerja yang seharusnya diamalkan oleh tenaga pendidik dan kependidikan, jujur, siapa pun penguji, dan apa pun alat ujinya dengan rambu-rambu kurikulum yang sama, sangat tak beralasan untuk takut, cemas, dan panik. Apalagi kalau semua sadar diri bahwa pendidikan anak oleh siapapun dan lembaga apa pun adalah investasi untuk masa depan. Seperti halnya bertani, adalah benih yang nantinya akan tumbuh dan dipanen para petani. Akankah kita ingin jika buah yang kita petik adalah buah busuk penuh dengan ulat sebagai akibat cara kita yang buruk dalam bertani ? Maukah kita jika harus menikmati hari tua yang penuh penderitaan dan rasa sakit sebagai hasil dari investasi kebobrokan moral dan mental buruk melalui cara mendidik anak kita ? Harusnya kita memberi keyakinan bahwa segala ujian akan membuatnya menjadi makin kuat. Seharusnya kita percaya akan kehandalan anak-anak kita dalam menghadapi ujian. Yakinkanlah kepada diri sendiri, anak-anak kita, dan semua orang bahwa ujian dan masalah merupakan rahmat yang akan menaikan derajat kita. Hanya saja memang rasanya tidak kita sukai. Kasihan itu bukan memberi ikan, tetapi memberi kail dan mengajarinya memancing. Jangan seperti dongeng tentang anak yang memenjarakan orang tuanya. [We-eS]

PRIMBON JAWA