[Catatan Usai Briefing Kedinasan, Jumat, 5 September 2014]
"Pahlawan memang begitu. Dia
yang berjuang mati-matian, orang lain yang menikmati hasilnya. Berjaya, dipuji
pula. Tapi, tetap saja bukan orang lain itu yang hebat. Tapi, kau. Sebab,
kaulah pahlawannya," kata kawanku memberi hiburan. “Saya tahu itu, kau
yang hebat !” kata kawanku lagi.
Aku memang
sangat kecewa saat itu. Dan kekecewaanku bertambah hebat saat hal yang aku
tunggu-tunggu tak juga keluar dari bibirnya. Tidak terlalu berlebihan, aku
hanya berharap ia menyampaikan bahwa hal hebat yang membuatnya mendapat pujian
juga berkat bantuan berupa warisan karya dariku. Hanya itu. Aku tak meminta
yang lebih, atau meminta bagian pujian yang ia terima. Beberapa detik setelah
tepuk tangan dari hadirin di ruang briefing,
ia memang langsung mengirimi aku pesan singkat (sms) yang berisi ucapan terima
kasih. Tapi bukan itu yang kumau. Aku hanya meminta ia sampaikan bahwa sebagian
yang ia tunjukkan di depan forum itu ada yang merupakan karyaku, hasil kerja
kerasku. Sebuah sentuhan kecil. Hanya itu.
Memang aku tak
bisa menuntutnya secara hukum, sebab karyaku itu belum dipatenkan oleh pihak
yang berwenang melindungi hak cipta. Apalagi sangat jelas bahwa karyaku
sekarang ada di tangannya memang karena saat itu aku memeberikannya dengan
cuma-cuma. Kuberikan karena pada saat itu berada dalam kelompok yang sama.
Rekan sekelompok tentu sangat baik kalau bisa saling berbagi. Tetapi setidaknya
kita tahu bahwa ada kode etik tidak tertulis tentang hak cipta intelektual yang
sangat baik utnuk diperhatikan.
Aku tak bisa
mengendalikan perasaan saat itu. Hingga tanpa berpikir panjang kusampaikan
kekecewaanku ini kepada teman sejawatku. Dan dengan empati tingginya ia
mengingatkanku tentang “pahlawan”.
Aku tentu tahu
dan paham benar akan filosofi pahlawan serta bangga dan bahagianya disebut
pahlawan. Pahamku akan hal itulah yang kemudian menyiksaku setelah itu.
Ya, ternyata
aku belum hebat ! Aku belum bisa membersihkan hatiku dari rasa pamrih . Aku belum bisa bersih benar
dari hasrat untuk riya. Aku belum bisa membebaskan hatiku dari keinginan
memaksa orang lain mengakui peran sertaku akan keberhasilannya. Aku belum bisa
menahan diri untuk mengatakan bahwa aku juga berperan penting atas sukses yang
ia raih. Dan aku tak bisa membela diri dan membenarkan perasaanku ini dengan
menyalahkan orang lain. Dia punya hak untuk “menjaga rahasianya”. Apalagi dia teman baikku. Teman baik yang
pernah bahu membahu dalam satu tim kerja. Teman baik yang tentu saja sudah
sangat banyak membantuku.
Ternyata, aku
memang belum hebat. Sebab, kenyataannya aku belum sanggup membunuh gejolak
seperti itu. Maka, jangan hibur aku dengan sebutan pahlawan wahai teman. Terlalu berat. Aku
belum hebat ! [We-eS]
0 komentar:
Posting Komentar