Di Tepi Kali Tipar
Oleh : Worro Sudarmo
Kali Tipar
airnya mengalir tenang. Aku duduk mencangkung di tepinya. Sudah cukup lama.
Ingatanku melayang jauh. Menggali segala peristiwa lalu. Saat-saat indah
bersama bapak, kakak, dan adik-adikku membayang jelas. Di sini, di tepi Kali
Tipar. Memancing, atau hanya bermain air di tepinya yang tak terlalu dalam.
“Nih lihat!
Bapak dapat ikan lagi! Mana hasilmu, Wo!” seru bapak selalu.
Mendengar itu,
biasanya kami langsung menyerbu ke tempat bapak, lalu ikut memancing di
sampinya.
Memang nih, Pak! Masa Wowo dapatnya kodok melulu...,” Kak Kenti, kakakku satu-satunya ikut
menimpali.
“Lho, masih
lumayan, daripada Kakak, nggak dapat apa-apa, weee...” Lalu kami pun saling
mengejek. Sedangkan bapak hanya tertawa-tawa senang menyaksikan tingkah kami.
Yang lebih
menyenangkan lagi adalah saat kami semua pergi ke sawah. Sawah kami ada di
seberang Kali Tipar. Inilah piknik mingguan kami. Kedengarannya aneh. Namun,
memang demikianlah adanya. Pergi ke sawah bagi kami sama dengan piknik.
Pagi-pagi
setelah sarapan, aku, bapak, dan Mono, adikku sudah berangkat. Sedangkan Kak
Kenti dan ibu menyusul nanti agak siangsambil membawa bekal makan siang. Di
sawah inilah kami benar-benar menemukan kegembiraan. Banyak yang kami lakukan
di sana. Main layang-layang, mencabuti rumput pengganggu padi, atau hanya
duduk-duduk membaca buku sambil menikmati semilir angin. Dan yang tak pernah
lupa, adalah mencari belut. Tak pernah kami pulang tanpa menenteng belut. Belut
bakar adalah kesukaan kami. Sungguh nikmat disantap bersama nasi hangat. Tapi
yang aneh, justru ibu paling takut dengan belut. Geli, kata ibu. Karena itulah,
kalau pulang membawa belut, ibu tak boleh melihat.
Bapak, selain
petani, juga seorang guru SD. Bapak pandai segala-galanya. Dari bapaklah kami
tahu segala macam di sekeliling kami. Bapak juga sangat memperhatikan kami.
Selalu kuingat,
setiap kali kami belajar, bapak dengan ibu dengan setia menemani. Menenteramkan
perasaan. Sungguh kami merasakan sejuta kebahagiaan memiliki orang tua seperti
beliau.
Namun rupanya
Tuhan tak mengizinkan bapak terlalu lama bersama kami. Kini beliau harus
kembali kepada Sang Maha Pencipta. Kami seperti kehilangan arah.
Penyebabnya
sungguh tragis. Waktu itu sore hari. Aku sedang duduk-duduk bersama saudara-sudaraku.
Ibu sedang memasak di dapur. Bapak sedang menyalakan lampu petromax. Di desaku
belum ada listrik. Tiba-tiba terdengar ledakan sangat keras. Semula kami tak
terlalu peduli. Tetapi betapa paniknya, ketika kami lihat bapak
berguling-guling berusaha memadamkan api yang membungkus sekujur tubuhnya.
Kami berteriak
histeris. Sebentar saja tetangga ramai berdatangan. Memang tak lama kemudian
api bisa dipadamkan. Tapi kami lihat sekujur tubuh bapak melepuh. Kami
menangis, tapi bapak malah tersenyum. Kemudian diceritakan penyebabnya.
Rupanya botol
plastik berisi spiritus penuh yang bapak pegang meledak tersambar api. Dan
akhirnya bapak dirawat di rumah sakit. Kami tak bisa berhenti menangis. Rupanya
ini adalah tanda-tanda dari Tuhan bahwa sudah saatnya bapak kembali ke
pangkuan-Nya. Hanya tiga hari bapak dirawat, lalu kami tak pernah berkumpul
kembali. Terpisah di alam yang lain.
Tanpa sadar air
mataku telah membanjiri pipi, lalu jatuh ke permukaan air Kali Tipar.
“Wo...,”
kudengar suara lembut bergetar di telingaku. Aku menoleh. Ternyata Kak Kenti
sudah lama duduk di sampingku. Kuhapus air mataku dengan telapak tangan.
“Dari tadi ibu
mencarimu. Sedang apa kamu di sini ?” kata Kak Kenti dengan suara bergetar.
Kulihat samar-samar air mata juga ada di pelupuk matanya. Lalu aku dipeluknya.
Air mataku semakin deras.
“Kak, lihatlah
sawah kita di seberang sana. Aku ingat bapak....,” kataku terisak. Kak Kenti
semakin mempererat pelukannya.
“Iya,
Wo...Kakak juga demikian. Tapi tak mungkin kembali...”
“Kakak kira
bapak juga tak ingin meninggalkan kita. Tapi Tuhan berkehendak lain. Mari kita
pulang, ibu menunggu kita...”
“Kak, aku ingin
seperti bapak...”
“Iya, Wo...
Kamu pasti bisa.”
“Aku ingin
menjadi insinyur pertanian, biar bisa mengolah sawah kita, kebun kita seperti
yang bapak lakukan. Aku ingin jadi guru, biar aku tahu banyak ilmu, sperti
bapak...”
“Iya, Wo... In
Sya Allah tercapai. Yang penting sekarang Wowo sekolah yang baik. Ingat yang
sering bapak nasihatkan pada kita.”
“Kak...,” aku
tak bisa melanjutkan kata-kataku. Kubenamkan kepalaku lebih dalam di dada
kakakku tersayang.
Ya! Aku akan
seperti bapak. Harus seperti bapak. Kelak itu akan tercapai! Semoga tuhan
mengizinkan. Lalu dibimbingnya aku berdiri oleh kakakku. Dan kutinggalkan Kali
Tipar. Kubiarkan dia sendirian. Mengalirkan airnya ke sawah-sawah. [April 1994]
0 komentar:
Posting Komentar